Semua orang pasti pernah ngalamin yang namanya fase patah hati. Dikhianatin, ditinggalin begitu aja dan sebagainya. Jujur aja, baru-baru ini gue juga baru aja ngalamin fase ini dan masih dalam tahap recover, setelah sudah sekian lama mati rasa dan udah lama juga gak ngalamin hal kayak gini jadi gue masih sedikit banyak, bingung dan gak tahu harus berbuat apa sampe akhirnya gue memutuskan untuk nulis postingan ini karena in the midst of recovering, tiba-tiba gue flashback ke belakang lagi soal fase-fase patah hati yang udah pernah gue lewatin sebelumnya.
Gue emang belum pernah terlibat secara langsung di dalam hubungan yang namanya "Pacaran", makanya temen-temen deket gue melabeli gue: "Jones dari lahir", kata mereka sih gitu. Tapi biarpun gue belum bener-bener pernah terlibat langsung dalam hubungan pacaran itu, tapi sedikit-banyak gue pernah lah mengalami fase yang menjurus ke si pacaran itu. Selama 24 tahun gue hidup, gue sempet deket sama beberapa lawan jenis, yang masing-masing dari tiap pertemuan dengan mereka itu meninggalkan kesan tersendiri dan cerita di hidup gue. Dari semua cerita gue tentang beberapa lawan jenis yang sempat singgah di hidup gue (Yang gak semuanya berakhir baik, karena kebetulan kehidupan percintaan gue tidaklah seberuntung cewek-cewek lainnya), ada tiga cerita patah hati yang mungkin akan jadi pelajaran yang paling berharga buat gue sekarang dan ke depannya nanti.
1. Ketika menjadi "Terlalu Baik" adalah sebuah kesalahan besar
Cerita patah hati pertama adalah awal dari terbentuknya gue sekarang ini. Dan gue juga udah pernah nulis ini di salah satu postingan gue yang judulnya: The Unfinished Thing. Intinya adalah, gue sempat deket sama si lawan jenis pertama ini bahkan dia sempat menganggap kalo karena gue, dia jadi bisa ngelupain his previous crush, sebelum dia kenal gue. Tapi selang beberapa minggu kemudian, si lawan jenis pertama ini menjauh gitu aja sampai gue harus bertanya-tanya sama diri gue sendiri, gue salah apa sama dia until i got the answer. Karena ini terjadi pas gue masih SMP, saat itu belum ada aplikasi chat kayak sekarang, jadi kita cuma bisa berkomunikasi lewat surat yang dititipin ke temen atau via SMS. Jadi, setelah selama beberapa hari bertanya-tanya, gue salah apa sama dia, i finally got the answer. Saat itu (seinget gue), gue sempet mengirimkan surat ke dia yang gue titipin ke temen gue, yang menanyakan gue salah apa sampai dia tiba-tiba ngejauhin gue dan jawaban dia: "Elo terlalu baik buat gue...karena lo terlalu baik, gue terpaksa ngejauhin lo karena gue gak mau nyakitin elo". Yap. Gue gak tahu gue harus seneng atau sedih ketika baca surat itu. Tapi yang jelas, selang sehari atau dua hari setelah gue nerima surat itu, di depan mata gue sendiri, gue ngeliat dia nembak si cewek incerannya, yang katanya sempet dia lupain karena dia deket sama gue. End of story. Ini terjadi ketika gue masih labil-labilnya, but it took 7 years for me buat lepas dari bayangan si lawan jenis ini. Ditambah lagi nasib buruk yang selalu mengikuti gue, kita terpaksa harus ketemu lagi ketika SMA dan dia jadi kakak kelas gue, dan dia kembar dan buat gue itu adalah siksaan dobel karena ngelupain si satu orang ini aja udah susah, dan gue harus ketemu lagi dengan dia dalam versi dobel (dia dan kembarannya yang amat sangat identik). Cerita ini terjadi sekitar tahun 2005.
2. Ketika menjadi pengecut hanya menimbulkan luka baru
Cerita patah hati kedua terjadi gak sekitar selang setahun setelah kisah pertama. Ditengah proses gue mencoba melupakan si pria pertama, gue ketemu dengan satu pria lainnya yang buat gue, kehadirannya itu udah kayak oase di padang pasir *halah*. Kita sebut saja dia sebagai "Pria tanpa Nama", karena gue beneran gak tau namanya dia siapa bahkan sampai detik ini. Gue selalu ketemu si pria tanpa nama ini di tempat bimbel. Kita selalu papasan, dan gatau kenapa, dia selalu senyum setiap kali kita papasan, Terus lama-lama gue perhatiin, ini orang lucu juga. Sekolah di salah satu sekolah negeri terbaik di Bekasi, sedikit banyak gue bisa menjamin dia pinter. Ditambah dengan penampilannya yang rapi, berkacamata, kalem, dan gak banyak tingkah, lumayan bikin gue cukup mengagumi si pria tanpa nama ini. Jam les dia lebih awal dari gue, tapi kebetulan kita menggunakan kelas yang sama, jadi otomatis gue harus menunggu kelas dia kelar duluan. Maka dari itu, gue sering banget papasan sama dia. At first gue masih biasa aja sama dia, bahkan gue sempet pindah hari karena jadwal sekolah yang bentrok. Tapi ternyata ketika gue pindah hari, gue dipertemukan lagi sama si pria tanpa nama ini, jadilah gue makin sering ketemu dia. Gue selalu menunggu giliran jadwal kelas gue sama dua temen deket gue, sampai di mana akhirnya gue tahu kalo ternyata si pria tanpa nama ini ternyata sepupuan ama temen gue. Maka semakin intens lah gue ketemu si pria tanpa nama ini, karena setiap kali kelas dia kelar, dia selalu nyamperin gue dan temen gue hanya untuk nyapa si temen gue yang notabene adalah sepupunya. Dan ke gue? As usual, dia cuma melempar senyum aja. Dan senyum itu yang selalu gue liat setiap minggunya, dan senyum itu juga yang selalu bikin gue semangat bimbel.
Tapi sayangnya, gue gak pernah berani ngomong ke temen gue, bahkan cuma sekedar nanya namanya si pria ini aja gue gak berani. Karena saat itu gue terlalu asyik kebawa pikiran bahwa gue akan selalu ketemu dia setiap les dan lupa kalau disetiap pertemuan itu pasti akan ada perpisahan. Beberapa hari sebelum periode bimbel gue berakhir, gue perhatiin si pria tanpa nama ini ekspresinya selalu murung. Biasanya setiap kita papasan, dia selalu senyum, tapi tiba-tiba dia nunduk tiap ketemu gue. Ketika pulang, kebetulan kita biasa nunggu angkutan umum di tempat yang sama. Saat itu, kita berdiri bersebelahan sampai angkutan yang gue tumpangin dateng duluan. Gue duduk di pojok belakang angkot supaya gue bisa ngeliat dia, dan ketika gue ngeliat dia lewat jendela kaca angkot, di saat itu juga dia ngeliat ke arah gue. Ini mungkin kedengerannya drama banget ya, tapi ini beneran kejadian. Gue kaget karena dia ngeliat ke arah gue dan gue refleks pura-pura ngeliat ke arah lain sambil sesekali ngelirik ke pria tanpa nama. Satu hal yang gue ngeh saat itu, ekspresi dia keliatan sedih dan he kept looking at me sampe angkot yang gue tumpangin itu menjauh. Dan perasaan gue campur aduk saat itu.
Akhirnya tiba hari terakhir bimbel, lagi-lagi kebetulan kita jalan di arah yang sama menuju tempat dimana kita biasa menunggu angkot. Tapi di hari terakhir itu, tepat di perempatan jalan, si pria tanpa nama berjalan menjauh berlawanan arah dengan posisi gue saat itu. Dia sekali lagi, sempet noleh ke belakang ke arah gue sebelum akhirnya berbalik dan pergi jauh. Saat itu, gue cuma bisa ngeliat dia ngejauh dan tiba-tiba perasaan nyesel gatau kenapa menyusup gitu aja di benak gue. Kalo aja gue berani nanya nama dia ke temen gue...kalo aja saat itu gue memberanikan diri untuk menyapa dia lebih dulu, mungkin dia gak akan jadi sekedar pria tanpa nama. Saat itu, gue yakin bahwa gue adalah seorang pengecut sejati.
3. Ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan
Untuk kisah ketiga ini....gue gak akan bercerita panjang lebar. Intinya, setelah apa yang terjadi di cerita pertama dan kedua, gue memutuskan untuk gak lagi mau suka atau jatuh cinta sama lawan jenis lainnya. Setelah si pria tanpa nama, hanya ada beberapa pria-pria lainnya yang datang dan pergi gitu aja dan gak terlalu meninggalkan kesan berarti buat gue. Jadi hidup gue hambar-hambar aja selama rentang waktu setelah pria tanpa nama itu. Gue fokus menyelesaikan kuliah gue dan kerja until i met this great guy. Gue gak akan bercerita banyak, tapi yang gue tahu, i like the right guy. Tapi sayangnya, apa yang gue harapkan, gak berjalan sesuai kenyataan. It hurts, and i'm still in the midst of recovering, tapi gue gak pernah menyesali semuanya, karena gue sadar, karena pria ini, gue belajar banyak hal. Gue belajar untuk bisa jadi diri gue sendiri, Gue tahu tipe pria seperti apa yang gue impikan sebagai calon imam gue di masa depan nanti, dan karena dia juga gue akhirnya berani mengalahkan kepengecutan yang udah bersarang di dalam diri gue selama dua puluh tahun lebih gue hidup. Dan gak ada satupun yang gue sesali dari pria ini, biarpun perasaan gue gak berbalas. I'm really thankful that i can meet someone like him. Mungkin semua gak berakhir seperti apa yang gue harapkan, tapi gue yakin bahwa setelah ini gue akan jadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik ke depannya.
Jadi kesimpulan dari tiga cerita di atas, bahwa gue gak percaya dengan yang namanya "kebetulan". Setiap orang yang datang dan pergi di hidup kita, paling tidak memberikan satu pelajaran hidup yang akhirnya akan membentuk diri kita nantinya. Dari semua kisah yang pernah terjadi, mungkin tiga cerita ini yang akan terus membekas di hidup gue nantinnya. Hidup itu sama halnya kayak membaca buku. Gue gak tahu saat ini gue ada di halaman berapa. Tapi yang jelas, gue gak sabar buat membuka lembaran baru dan menanti cerita apa yang bakal "tertulis" setelahnya. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar